Kejayaan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor minyak mentah telah berlangsung selama puluhan tahun. Dimana negara kita tercinta Indonesia disejajarkan dengan negara-negara Petro Dolar dari Timur Tengah sebagai anggota dalam organisasi negara-negara pengekspor minyak yaitu Organization Potreleum Exporting Contest (OPEC) . Namun kebanggaan tersebut tidak lagi kita sandang semenjak pemerintah Indonesia melalui Maizar Rahman selaku Gubernur OPEC untuk Indonesia secara resmi mengumumkan keluarnya Indonesia dari OPEC pada 10 September 2008 silam. Pemerintah berargumen bahwa Indonesia justru akan dirugikan jika tetap menjadi anggota OPEC dengan status Indonesia sebagai net oil importir. Dengan demikian Indonesia mengakhiri keanggotaannya selama 47 tahun di OPEC, sejak bergabung pada tahun 1961.
Menengok peristiwa ini, sungguh ironis memang mengingat ekspor migas yang sebelumnya menjadi sektor andalan Indonesia sebagai salah satu penyumbang terbesar penghasilan negara justru sekarang Indonesia berstatus sebagi net oil importir di pasar minyak dunia. Produksi minyak mentah yang menurun drastis memang menjadi salah satu alasannya. Jika kita berpikir sejenak, kita tahu bahwa minyak merupakan sumber daya alam yang jumlahnya terbatas, butuh ratusan bahkan ribuan tahun untuk alam bisa memperbaharuinya. Oleh karena itu, hendaknya kita harus bijak dalam menggunakannya, sudah seharusnya kita menjaga amanah dari Tuhan yang Maha Esa ini untuk senantiasa menjaga dan menggunakan sebaik-baiknya.
Namun apa yang terjadi sekarang ini ? negara kita yang awalnya merupakan negara pengekspor justru menjadi negara pengimpor minyak mentah di pasar minyak dunia. Produksi minyak mentah yang pada tahun 1996 mencapai 1,6 Juta barel per hari (bph) mengalami penurunan yang sangat signifikan hingga hanya mencapai 970 ribu bph pada tahun 2008 dan terus mengalami penurunan hingga akhir tahun 2014 kemarin hanya mencapai 794 ribu bph. Semakin menipisnya sumber daya yang tersedia memang menjadi penyebab turunnya produksi minyak mentah Indonesia. sementara disisi lain konsumsi BBM di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin meledaknya jumlah kendaraan bermotor di Indonesia.
Jika menoleh ke belakang awal ketika Indonesia masuk menjadi anggota OPEC, jumlah kendaraan bermotor saat itu tidak sebanyak sekarang. Dimana daya beli memang masih sangat rendah. Namun sepuluh tahun terakhir jumlah kendaran bermotor di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat pesat mengingat semakin menjamurnya lembaga-lembaga pembiayaan yang menawarkan kemudahan bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki kendaraan bermotor secara kredit. Tidak mengherankan memang jika masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum, mengingat kebanyakan kendaraan umum di Indonesia yang jauh dari kata layak. Berbagai permasalahan mulai dari rawan kriminalitas hingga alasan efisiensi dan kenyamanan sering dikeluhkan pengguna kendaraan umum khususnya dikota-kota besar.
Disini pemerintah hendaknya cepat tanggap dalam memberikan solusi masalah ini dengan meningkatkan kualitas kendaran umum di Indonesia. Jika melirik negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, mereka mampu memberikan kenyamanan bagi para penikmat kendaraan umum di negaranya. Monorel, alat transportasi yang telah lama diidam-idamkan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat ibukota telah lebih dulu ada di kedua negara Jiran tersebut.
Monorel bukan alat transportasi yang menguras kekayaan minyak negara kita seperti bus kota maupun angkot. Karena menggunakan bahan bakar listrik, sehingga kita bisa menghemat kekayaan BBM kita yang jumlahnya semakin terbatas ini. Solusi pemerintah daerah dari beberapa kota besar melalui Busway memang sedikit banyak memberikan dampak yang lumayan positif. Namun walau bagaimanapun busway tetaplah masih menggunakan bahan bakar fosil juga. Dengan direalisasikannya proyek monorel, diharapkan akan mampu menjawab keinginan masyarakat perkotaan yang sibuk akan kendaraan umum yang efisien, murah, aman dan nyaman.
Sehingga tidak lagi bagi para pelajar, mahasiswa, dan para karyawan yang dikejar waktu harus membawa kendaraan pribadi masing-masing karena itu justru akan semakin menguras kekayaan minyak negara kita tercinta. Diharapkan kedepan proyek Monorel segera direalisasikan oleh pemerintah, masyarakat Indonesia lebih memilih menggunakan kendaraan umum tersebut dari pada kendaraan pribadi sehingga bisa mengurangi konsumsi minyak dalam negeri demi kebaikan bersama, Negara kita juga bisa kembali berstatus menjadi net oil eksportir sehingga sektor migas bisa kembali menjadi sektor andalan APBN. Semoga .
Indonesia kini di ambang krisis energi. Lebih dari 37 juta penduduk Indonesia, atau setara sekitar 15% dari total jumlah penduduk, saat ini tidak memiliki akses listrik untuk kebutuhan mendasar seperti penerangan dan kesehatan(Wanhar 2015). Angka ini belum termasuk pemadaman bergilir dan gangguan yang sering terjadi di sejumlah daerah di seantero Indonesia.
Proyeksi kelistrikan menyebutkan indeks elastisitas energi Indonesia diperkirakan sekitar 1.6, yang berarti untuk meningkatkan satu persengross domestic product national (National GDP) dibutuhkan 1.6 persen pertumbuhan energi. Dengan kata lain, untuk menopang pertumbuhan ekonomi sebesar 6% per tahun diperlukan setidaknya peningkatan energi sebesar 9.6%setiap tahunnya(Panigoro 2015). Sementara itu, kapasitas listrik terpasang sampai akhir tahun 2014 baru mencapai 53.585 MW dengan rasio elektrifikasi nasional sebesar 84.3 %. Kondisi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan, pasalnya ketersediaan dan keandalan pasokan listrik mutlak dibutuhkan dalam pergerakan ekonomi suatu negara.
Pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla baru-baru ini mencanangkan program pembangunan pembangkit listrik dengan kapasitas 35.000 MW beserta infrastruktur ketenagalistrikan lainnya yang akan dilaksanakan selama tahun 2015-2019 untuk mengatasi krisis kelistrikan.Dengan penambahan kapasitas sebesar 7.968 MW yang sedang dalam tahap konstruksi, total penambahan kapasitas pembangkit hingga tahun 2019 diharapkan akan mencapai 42,9 GW. Total kapasitas pembangkit listrik ini terdiri dari pembangkitan oleh PT PLN (persero) sebesar sebesar 42% (18 GW) dan swasta melalui mekanisme Independent Power Producers (IPP) sebesar 58% (24,9 GW)(Direktorat Jendral Ketenagalistrikan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral 2015).
Untuk membangun infrastruktur pembangkit dan memenuhi jumlah kapasitas yang ditargetkan, Kementrian ESDM mengeluarkan peraturan menteri no. 3/2015 yang mengatur harga dan prosedur pembangkitan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulut tambang, PLTU Batubara, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air(PLTA). Setidaknya ada delapan terobosan hal baru yang akan dilakukan untuk menyukseskan target mega-proyek 42,9 GW ini dalam 5 tahun, diantaranya: proses pemilihan pengembang swasta (IPP) dengan mekanisme penunjukkan langsung, penetapan harga patokan tertinggi untuk IPP,danpemberlakuan uji tuntas (due diligence) untuk kinerja pengembang dan kontraktor(Wanhar 2015).
Meskipun demikian, sejumlah praktisi kelistrikan meragukan target proyek 42,9 GW ini akan berhasil tepat pada waktu yang direncanakan. Keterbatasan dalam pembiayaan yang diperkirakan mencapai Rp. 608,5 triliun menjadi kendala utama, belum lagi PT PLN (persero) masih harus menanggung kewajiban sejumlah pembayaran. Laporan keuangan PT PLN tahun 2014 lalu mengindikasikan PT PLN masih menyisakan utang pembayaran dengan nilai lebih dari Rp 700 juta (PT PLN (Persero) 2014). Oleh karena itu,fasilitas-fasilitas pembiayaan ulang (refinancing) mutlak diperlukan untuk menunjang mega-proyek ini. Beberapa diantaranya adalah bank-bank pembangunan seperti Asian Development Bank(ADB) dan Islamic Development Bank (IDB) yang memberikan jangka pengembalian yang relatif panjang.
Tantangan lainnya adalah permasalahan penyediaan lahan wilayah kerja pembangkit listrik. Telah jamak diketahui, kendala saat pembangunan yang paling sering dihadapi adalah pembebasan lahan yang kerap memakan waktu bertahun-tahun. Penyebab utamanya adalah seringkali ketidaksepahaman skema ganti rugi dan klaim sepihak lahan oleh penduduk sekitar. Namun demikian, rintangan yang tak ringan itu diharapkan dapat terpecahkan dengan dimulainya pemberlakuan UU 2/2012 tentang pembebasan dan penyediaan lahan. Selain itu, perlu adanya solusi lain dengan mengikutsertakan peran masyarakat sekitar dalam pembangunan pembangkit listrik untuk menumbuhkan rasa memiliki bersama.
Pertumbuhan penggunaan energi Indonesia tidak dapat dibendung seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Perkembangan proyek 42,9 GW ini menjadi titik penting untuk menggerakkan roda perekonomian Indonesia yang lebih maju dan merata. Di sisi lain,mega proyek35 ribu MW dapat menghematpenggunaan diesel sehingga dapat menekan beban impor produk migas yang mencapai 28 milyar US dollar (Badan Pusat Statistik 2014). Pada akhirnya, keberhasilan mega proyek 35 ribu MW tidak terlepas peran serta aktif bahu membahu dari pemerintah, swasta dan masyarakat sehingga tujuan ketahanan energi Indonesia bukan hanya sekedar wacana.
Bibliography
Badan Pusat Statistik. Neraca Ekspor - Impor Energi. Regular Report, Jakarta: BPS, 2014.
Direktorat Jendral Ketenagalistrikan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 5 Tahun, Tambahan Listrik 35.000 MW atau 10 Tahun, 54.000 MW. March 13, 2015. http://www.esdm.go.id/berita/listrik/39-listrik/7167-5-tahun-tambahan-listrik-35000-mw-atau-10-tahun-54000-mw.html (accessed March 13, 2015).
Panigoro, Arifin. Revolusi Energi Solusi Krisis Energi dan Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: PT Gramedia, 2015.
Wanhar. Manajemen Power Plant Listrik Berkapasitas 35.000 MW dengan Pembangunan Infrastruktur. Presentation, Jakarta: Kementrian Energi Sumber Daya Mineral Direktorat Jendral Ketenagalistrikan, 2015.
Bisa anda bayangkan seandainya terjadi pemadaman listrik secara mendadak atau mendapat jatah pemadaman listrik bergilirdalam beberapa waktu? Bagaimana sikap dan reaksi anda? Pasti merasa tidak menyenangkan, karena listrik telah menjadi kebutuhan pokok dan penting dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin ada yang menyikapinya dengan marah, kesal, atau membuat plesetan kepanjanganan PLN,bahkan sampai menyalahkan pemerintah. Tragisnya era perkembangan media sosialsekarang ini,begitu mudahnya menumpahkan kekesalan dan kritik yang berlebihan dan tidak pantasdi berbagai media sosial tersebut, dan menjadi ajang curhat nasional dan global.
Adalah hal yang wajar, ketika ada yang kesal saat pemadaman listrik, ketika seseorang mengerjakan tugas di komputer, padahal pekerjaan yang diketikberjam-jam belum sempat tersimpan. Ketika anggota keluarga ada yang sedang sakit serius. Demikian halnya dalam keluarga yang baru memiliki bayi yang sedang rewel-rewelnya, serta masih banyak kondisi-kondisi lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana repot dan dongkolnya mereka, ketika listrik tiba-tiba padam. Tetapi, menjadi tidak wajar kalau reaksi berlebihanan, sampai kehilangan kesantunan dan marah yang berlebihan sampai tidak terkontrol dalam menyikapinya.
Inilah kenyataan yang sedang kita hadapi, kebutuhan listrik semakin lama semakin meningkat, karena bertambahnya pemukiman penduduk, pembangunan kantor-kantor pemerintah dan swasta, pengembangan kawasan-kawasan industri dan pertokoan, pembukaan pertambangan-pertambangan baru, pendirian rumah sakit-rumah sakit, dan lain sebagainya. Sehingga keterbatasan pembangkit listrik akan berakibat pada pemadaman bergilir yang sering dilakukan, yang tentunya merugikan banyak pihak.
Saya yakin, pemerintah telah berupaya keras untuk menyelesaikan permasalahan ini. Seperti yang diutarakan berbagai media, bahwa pemerintahan saat ini, yakni pemerintahan Jokowi juga sedang mencanangkan program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu Mega Watt (MW) dalam kurun 5 tahun ke depan.
Tetapi permasalahannya tidak sampai disitu saja, sumber energi juga menjadi masalah berikutnya, seandainya hanya berpatokan pada energi fosil saja, masalah dalam kelistrikan tidak akan ada habisnya, karena energi fosilpun semakin lama semakin menipis. Artinya pembangkit listrik yang tidak bersumber dari energi fosilpunperlu digalakkan. Dengan kata lain, perlu secara serius mengajak dan menggiatkanpenelitian-penelitian untuk menciptakan sumber-sumber energi alternatif, atau ujicoba-ujicoba pembangkit listrik dengan sumber energi non fosil.
Kalau pemerintahan berperan dalam pembuat regulasi dan pengelola kebutuhan listrik, bagaimana dengan kita sebagai konsumen baik kalangan industri dan masyarakat? Apa peran dan tanggung jawab kita dalam permasalahan kelistrikan? Berdasarkan Undang-Undang Ketenagalistrikan nomor 30 tahun 2009 pasal 29, konsumen tersebut memang diatur hak dan kewajibannya.
Ayat (1). Konsumen berhak untuk : a.mendapat pelayanan yang baik; b.mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik; c.memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga yang wajar; d.mendapatpelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik; dan e.mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.
Ayat (2) Konsumen wajib : a.melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik; b.menjaga keamanan instalasi tenagalistrik milik konsumen; c.memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya; d.membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan e.menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan.
Tetapi dalam artikel ini, saya tidak banyak membicarakan seputarhak dan kewajiban konsumen. Saya lebih fokus pada peran dan tanggung jawab moral konsumen untuk mendukung penghematan energi. Penghematan energi itu sendiri merupakan usaha mengurangi jumlah penggunaan energi atau salah satunya melalui efisiensi pemanfaatan listrik.
Silahkan bertanya dan instropeksi pada diri sendiri, apakah kita termasuk pihak yang mendukung sepenuhnya program penghematan energi listrik? Menurut hemat saya, hal-hal kecil yang kita lakukan sehari-hari yang bisa kita jadikan sebagai indikator. Apakah kita sering menyalakan televisi berjam-jam tetapi tidak sedang menyaksikan siaran televisi bahkan mungkin sedang dalam keadaan tertidur? Apakah kita sering membiarkan gadget terhubung dengan listrik padahal gadget-gadget tersebut batteray-nya sudah terisi penuh dengan begitu lama, demikian juga laptop dan komputer yang tidak sedang dioperasikan lagi, tetapi masih terhubung dengan listrik.Apakah membiarkan AC kamar kita masih aktif, padahal kita sudah tidak tidur lagi? Apakah lampu masih dibiarkan menyala padahal sudah siang hari? Ataukah kita sering lupa menonaktifkan peralatan-peralatan listrik sebelum tidur atau meninggalkan rumah? Bahkan meninggalkan ruangan kerja atau kantor dengan membiarkan berbagai peralatan-peralatan listrik masih dalam posisi terhubung dengan listrik?
Hemat energi listrik secara nasional, tentu diawali dengan hemat energi listrik dari rumah kita sendiri. Untuk itu, mari membentuk perilaku dan kebiasaan diri untuk menggunakan listrik saat diperlukan dan sesuai kebutuhan kita. Bukan berarti kita sedang menapikan peran pemerintah yang harus tetap tegas dan dapat dipercaya dalam proses pembuatan regulasi kelistrikan serta pengelolannya yang berpihak pada kepentingan umum dan mensejahterakan masyarakat. Pada akhirnya, saya menyimpulkan bahwa listrik adalah milik bersama.Demi masa depannya pemerintah, swasta dan masyarakat harus bekerja sama, karena hemat energi listrik adalah sedang menginvestasikan listrik bagi anak cucu kita. Jadi, hemat energi listrik adalah tanggung jawab kita bersama.
Tahun 2014 lalu, Jerman kembali dinobatkan sebagai negara yang paling efisien dalam penggunaan energi di dunia. Sebagaimana diberitakan oleh redaksi hijau.com, pemeringkatan oleh American Council for an Energi-Efficient Economy (ACEEE) ini juga menempatkan Italia, Uni Eropa, China dan Perancis dalam peringkat atas efisiensi energi global.
Di tanah air gerakan hemat energi baru dilakukan sebatas meluncurkan peraturan yang sampai saat ini hanya menjadi macan kertas belaka. Pelaksanaan dari peraturan ini baru menjadi mitos belaka dan belum menjadi etos sebagai bagian dari gerakan membangun negeri.
Menurut data ASEAN Centre for Energy (ACE), Indonesia merupakan negara terboros di Asia Tenggara dalam hal penggunaan energi listrik. Indeks elastisitas energi Indonesia pada tahun 2012 mencapai 1,63, lebih tinggi dibandingkan Thailand dan Singapura yang masing-masing mencapai 1,4 dan 1,1. Bahkan indeks elastisitas energi negara-negara maju berkisar antara 0,1 hingga 0,6. Indeks elastisitas adalah perbandingan laju pertumbuhan konsumsi energi dibanding laju pertumbuhan ekonomi.
Indonesia saat ini boleh dikatakan sedang dalam keadaan darurat energi. Bahkan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menyiratkan keprihatinannya terhadap dunia ketahanan energi nasional. Gara-gara kurangnya cadangan ketahanan energi, Jika Indonesia perang, paling hanya bertahan 3 hari, mengapa? Lantaran Indonesia tidak memiliki ketahanan energi yang cukup baik. Cadangan BBM kita jauh dibawah negara-negara tetangga! Indonesia hanya punya cadangan BBM untuk 17 hari. Bandingkan dengan Malaysia yang punya 30 hari, Jepang dan Korea 50 hari, Singapura 50 hari.
Spritualitas Hemat Energi
Gawat darurat energi ini tentu harus disikapi dengan langkah nyata. Gerakan hemat listrik bisa menjadi prioritas utama tanpa mengabaikan energi lain. Mengapa hemat listrik ? Karena untuk membangitkan tenaga listrik PLN membutuhkan 7,2 juta kiloliter pada Tahun 2014. Selain itu, fakta bahwa kebanyakan pembangkit listrik di Indonesia memakai bahan bakar fosil menunjukkan bahwa sektor ketenagalistrikan berpotensi menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi karbondioksida di Indonesia bahkan di kawasan Asia Pasifik.
World Resources Institute (WRI) dalam analisisnya menempatkan Indonesia pada peringkat ke-21 penghasil emisi karbondioksida tertinggi di dunia tahun 2000. Emisi karbondioksida Indonesia yang dihasilkan sektor energi saja mencapai 1,2% emisi karbondioksida dunia keseluruhan (78 juta ton CO2). Jadi, menghemat listrik artinya juga menghemat BBM sekaligus mengurangi kadar emisi karbondioksida.
Membangun spiritualitas hemat energi adalah sebuah upaya untuk membumikan hemat energi di hari sanubari rakyat dan aparatur pemerintah. Butuh dorongan dari hati nurani yang paling dalam agar manusia Indonesia bergerak untuk melakukan praktik hemat energi tanpa merasa dipaksa oleh siapa pun. Hemat energi yang lahir karena kesadaran bukan keterpaksaan.
Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997), spiritual adalah kehidupan manusia yang dijalani sesuai dengan hakikat spiritualnya dan karunia rahmat. Kehidupan spiritual tidaklah bertentangan atau terpisah dari kehidupan kodrati manusia, tetapi tumbuh dan menjadi dewasa dalam keserasian dengan kehidupan kodrati. Semua makhluk hidup dalam dirinya mempunyai sesuatu yang menjiwai dan menghidupkan suatu daya hidup yang mewujudkan eksistensinya. Daya yang menghidupkan ini terdapat pada semua makhluk hidup baik manusia, binatang maupun tumbuhan. Makin tinggi tingkatan makhluk itu, makin tinggi dan makin spiritual daya hidupnya serta makin sempurna aktivitasnya.
Spritualitas itu jauh melebihi peradaban. Melalui kehidupan spiritual manusia memasuki dunia pengetahuan dan cinta yang melebihi kodrat. Berpikir dan bertindak tidak atas dasar budaya dan nalar, melainkan atas dasar iman kepada Tuhan.
Spritualitas hemat energi listrik bisa dilaksanakan melalui pertama, membangun spiritualitas hemat energi melalui institusi keagamaan. Indonesia memang bukan negara agama tetapi memiliki harmoni kehidupan spiritual yang baik. Ini merupakan peluang yang cukup besar bagi pemerintah untuk membumikan hemat energi melalui masjid, gereja, vihara, pura, dan klenteng. Setiap agama tentu memiliki pesan moral untuk melakukan gaya hidup hemat energi dan menentang keras praktik boros energi.
Dalam Al Quran, Surat Al Isra, ayat 26 – 30, Allah memerintahkan, “ Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya. Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.
Pesan Tuhan ini sangat jelas bahwa manusia yang melakukan pemborosan energi sehari-hari adalah saudara-saudara syaithan. Artinya, perilaku boros akan membawa dampak yang buruk kepada umat manusia, lingkungan, dan semua makhluk hidup yang ada di planet bumi. Syaithan adalah sebuah lambang keburukan perilaku sehingga harus dijauhi dan diingkari.
Tuhan juga berpesan bahwa kita harus bijak untuk menggunakan energi, tidak boleh terlalu mengulurkan (boros), tetapi juga tidak boleh terlalu pelit energi yang juga memiliki potensi keburukan sama dengan boros energi. Bijak menggunakan energi adalah solusi dari langit untuk seluruh penghuni planet bumi.
Dalam Agama Hindu, ada tradisi nyepi yang salah satu ritualnya adalah dengan “amati geni” yaitu mematikan semua sumber cahaya termasuk listrik. Pada Hari Raya Nyepi, seluruh rumah penduduk yang penghuninya beragama Hindu tentu akan mematikan lampu dan alat elektronik lainnya selama sehari penuh sebagai ritual keagamaan yang wajib dilakukan.
Dalam Perayaan Nyepi di Bali tahun lalu terbukti mampu menghemat listrik sebesar 50 persen. Data PLN tahun 2014 menyebutkan bahwa Perayaan Nyepi di Bali bisa menghemat penggunaan listrik hingga hampir separuh dari kapasitas normal, yakni dari semula 700 megawatt menjadi 400 MegaWatt (MW) dalam sehari.
Kedua, institusi pendidikan. Dunia pendidikan merupakan institusi yang sangat ampuh untuk membangun spritualitas hemat energi. Ini tak berarti harus menjadikan spiritualitas hemat energi sebagai mata pelajaran sendiri melainkan melakukan internalisasi hemat energi ke dalam setiap pelajaran yang relevan. Pelajaran Agama, Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Bahasa Indonesia dapat digunakan untuk membumikan spiritualitas hemat energi. Melaksanakan hemat energi bukan karena paksaan melainkan karena kesadaran sebagai makhluk Tuhan yang harus turut bertanggungjawab untuk merawat bumi.
Pendidikan merupakan kawah candradimuka untuk membiasakan peserta didik melakukan kebiasaan hemat listrik setiap waktu di setiap tempat. Pendidikan adalah sarana untuk melakukan revolusi mental dari mental boros energi menjadi hemat energi. Tak perlu anggaran yang cukup banyak untuk membentuk mental ini. Proses ini hanya perlu praktik yang dilakukan secara berulang-ulang sebagaimana yang dikatakan oleh Howard Gardner. Hakekat kecerdasan seseorang itu lebih banyak berkaitan dengan kebiasaan, yaitu perilaku yang diulang-ulang.
Cerdas dalam hemat energi adalah membiasakan peserta didik untuk melakukan praktik hemat energi. Mematikan lampu-lampu di sekolah ketika tidak dipakai. Melepas charge komputer atau laptop dari colokan di laboratorium sekolah ketika selesai praktik. Mematikan lampu kamar mandi ketika selesai menunaikan hajad. Menggunakan pendingin ruangan seperlunya saja.
Kebiasaan hemat listrik ini jika bisa ditularkan di lingkungan keluarga dan tempat tinggal tentu akan menjadi daya ungkit yang cukup besar untuk menghemat penggunaan BBM pembangkit listrik sekaligus menghemat rupiah.
Ketiga, instansi pemerintah. Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, yang dikenal memiliki jiwa spiritualitas yang tinggi merupakan teladan yang baik bagi para aparatur pemerintah dalam menghemat energi listrik. Ketika putranya menghadap ke ruang kerjanya di istana, beliau langsung mematikan lampu penerangan. Karena hal ini merupakan urusan keluarga bukan urusan negara. Lalu beliau mengambil lampu milik keluarga untuk menerangi pembicaraan antara ayah dan anak.
Sang Khalifah sangat berhati-hati dalam menggunakan dan menghemat aset negara. Hal ini antara lain dilakukan dengan menggunakan lampu milik negara untuk kepentingan tugas negara. Lampu untuk kepentingan negara ini pun tidak boleh boros dalam penggunaannya. Terbukti beliau hanya menggunakan satu lampu untuk menemaninya bekerja hingga larut malam.
Hal ini bertolak belakang dengan kebanyakan instansi pemerintah di tanah air. Betapa banyak gedung instansi pemerintah yang dibangun tanpa mempedulikan perencanaan untuk hemat listrik. Komputer dibiarkan dalam posisi power on meskipun tidak dipakai. Lampu dan pendingin ruangan lupa dimatikan meskipun tak dipakai. Printer, Mesin fax dan pesawat telpon juga masih belum dilepas dari sumber listrik meskipun kantor sudah tutup.
Tischler (2002) mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu cara, berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih.
Untuk membentuk perilaku hemat energi perlu kerjasama yang harmonis antara institusi keagamaan, pendidikan, dan aparatur pemerintah yang dilandasi semangat keterbukaan, memberi teladan dan penuh kasih untuk merawat bumi. Spriritualitas adalah energi penggerak untuk mewujudkan hemat energi secara total. Sehingga kita memiliki cadangan energi yang cukup besar untuk membangun negeri ini.
Quote :
· Benar sekali, hemat energi sebaiknya datang dengan tulus tanpa keterpaksaan. Terbuka dengan masalah energi dan lingkungan yang ada saat ini, memberi waktu dan aksi untuk melakukan hemat energi dan menjaga lingkungan dengan penuh kasih. Akan sangat baik jika spiritualitas hemat energi itu ada. Masalah yang ada saat ini adalah banyak orang tidak merasakan bagaimana tingginya penggunaan energi listrik akan berdampak ke lingkungan dan masa depan. Jadi bisa dibilang kesadaran untuk hemat listrik belum tinggi. Menurut saya agar spiritualitas hemat energi semakin tumbuh, perlu banyak aksi yang harus benar benar dilakukan. Inovasi peraturan, kesadaran dan edukasi di setiap lapisan masyarakat, dan lain lain.